Bismillah
Berikut ini adalah tulisan lanjutan dari serial belajar Fikih Syarikah Mudharabah sebelumnya.
Kapan memakai transaksi mudharabah atau investasi dan kapan memakai transaksi ijaroh alias mengangkat karyawan?
Kaedah dalam masalah ini adalah sebagai berikut:
المنفعة إن ملّكها صاحبها إلى غيره وكانت تحتمل وجوهاً عديدة، والذي يفصل في هذه الوجوه مستثمرها، فهذه أجارة. وإن كانت رقبة ذات عين ، أعطاها مالكها لرجل ، ولا تستثمر إلا على جهة واحدة، لا ثاني فيها، فهذه شركة وليست أجارة
Benda yang bisa diambil manfaatnya manakala diserahkan oleh pemilik kepada orang lain untuk dikelola dan ada banyak alternatif pemanfaatan benda tersebut lalu pengelola memiliki kebebasan untuk menentukan bentuk pemanfaatan maka transaksi yang terjadi adalah sewa. Akan tetapi manaka benda tersebut tidak bisa diambil manfaatnya oleh pengelola kecuali dalam satu bentuk pemanfaatan saja tanpa ada bentuk lainnya maka transaksi yang terjadi antara pemilik dengan pengelola adalah transaksi syarikah alias investasi dan bukan transaksi sewa menyewa.
Misalnya saya menyerahkan bangunan ruko yang saya miliki kepada seseorang dan dia memiliki kewenangan penuh mengenai bentuk pemanfaatan antara menjadikan ruko tersebut untuk jualan roti, toko kelontong atau pun pangkas rambut. Orang tersebut memiliki kewenangan penuh tentang peruntukan ruko tersebut dan dia sendiri yang menanggung segala kemungkinan yang terjadi, antara untung ataukah rugi. Saya hanya menyerahkan kepadanya benda yang bisa diambil manfaatnya dan orang tersebut sendiri yang menentukan bentuk pemanfaatannya. Saya pun tidak akan bertanya tentang keuntungan atau kerugian usahanya. Saya hanya meminta darinya sejumlah uang dengan nominal tertentu perbulannya karena telah menyewakan ruko tersebut. Aku tidak menimbang apakah usahanya untung ataukah merugi karena hal tersebut adalah urusannya. Transaksi sewa untuk benda semacam ini hukumnya diperbolehkan.
Akan tetapi jika kuserahkan kepada orang tersebut suatu benda tertentu yang tidak bisa diambil manfaatnya kecuali dalam satu bentuk pemanfaatan, tidak bentuk lainnya maka transaksi yang terjadi antara pemilik dengan pengelola bukanlah transaksi sewa menyewa namun syarikah [baca: investasi]
Transaksi syarikah yang terjadi dalam hal ini adalah mudharabah karena pemilik bukanlah pengelola. Sedangkan para ulama sepakat bahwa pengelola dalam transaksi mudharabah itu tidak boleh dibebani dua kerugian yaitu kerugian tenaga dan kerugian finansial. Sedangkan jika ada keuntungan dari pengelolaan tersebut maka keuntungannya dibagi diantara pemilik dengan pengelola.
Sedangkan manakalah transaksi mudharabah itu mengalami kerugian maka pemilik itu menanggung kerugian harta sedangkan pengelola menanggung kerugian tenaga. Jadi pengelola tidak boleh dibebani dua kerugian sekaligus.
Taksi ataupun bis kota itu tergolong benda yang hanya bisa diambil manfaatnya dengan satu bentuk pemanfaatan saja, tidak ada bentuk lainnya. Sehingga transaksi yang terjadi antara pemilik mobil dengan sopir yang menjalankannya adalah transaksi syarikah tepatnya adalah transaksi mudharabah. Oleh karena itu manakala sopir telah sungguh sungguh bekerja dan tidak ceroboh dalam kerja namun hasil kerja hari tersebut tidak memenuhi target setoran maka haram atas pemilik mobil untuk membebani sopir dengan dua bentuk kerugian yaitu kerugian tenaga dan kerugian finansial karena hasil nomboki setoran dari kantong pribadinya sehingga bisa sesuai dengan target setoran yang telah ditetapkan oleh pemilik mobil.
Memang benar, zaman ini adalah zaman krisis kepercayaan. Seharusnya hubungan yang terbangun antara sopir dengan pemilik mobil adalah transaksi syarikah mudharabah. Artinya pembagian keuntungan itu dengan prosentase sehingga sopir tidak dibebani dengan dua kerugian sekaligus, kerugian tenaga dan kerugian finansial [Diolah dari salah satu fatwa yang disampaikan oleh Syaikh Masyhur Hasan al Salman].
Artikel www.PengusahaMuslim.com
PengusahaMuslim.com , .
Anda juga dapat menjadi sponsor, silakan hubungi: [email protected] / Telp: 081326333328